GANJALAN YANG MERESAHKAN
MASYARAKAT
“Calo : Sebagai Fenomena
Sosial dan
Potret Kelalaian Hukum di Negara Ini?”
I.
PENDAHULUAN
Ii.
Latar Belakang
Saat
kita berkunjung ke sejumlah tempat transit kendaraan seperti, terminal, stasiun
kereta api, pelabuhan, ataupun
Bandar udara, kesan yang ditangkap sudah sangat lumrah. Hirup-pikuk orang
berlalu lalang, antrian yang tidak pernah tertib, pedagang kaki lima bertebaran
di mana-mana, sampai calo yang menjamur subur. Ya, calo seolah memang sudah
menjadi bagian dari rutinitas kehidupan masyarakat. Bagaimana tidak, jika dilihat
dari maraknya calo yang beredar bebas di sejumlah tempat di atas dapat kita
sebut hadirnya calo adalah suatu fenomena.
Sebenarnya
apakah yang disebut ‘calo’ itu?
Pengertian Calo
Calo adalah orang yg menjadi perantara dan memberikan
jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah; perantara; makelar;
Per•ca•lo•an n perihal calo: Pemerintah terus berupaya
mengatasi kegiatan ~ dan membendung arus TKI ke luar negeri
Apa itu Afiliasi? Dalam pengertian Bahasa Indonesia
yang disempurnakan, afiliasi yang merupakan saduran dari kata “affiliation”
(Bahasa Inggris), adalah bentuk kerjasama antara dua lembaga yang masing-masing
berdiri sendiri. Secara singkat, afiliasi
juga bisa diartikan “anggota” atau “cabang”.
Namun dalam terminologi bisnis online, pengertian
afiliasi mengalami sedikit penambahan makna. Afiliasi adalah “cara menghasilkan
uang dengan menjual produk dari perusahaan atau lembaga pemilik produk
(affiliate merchant), dengan bergabung menjadi pemasar produk (affiliate
marketers), dan (hanya) dibayar setelah produk terjual”. Di luar negeri,
pengertian afiliasi memiliki kedekatan
dengan pekerjaan seperti calo, broker, atau perantara, karena menerapkan
cara kerja yang sama.
Memang, secara bahasa, pengertian “calo” di Indonesia
sangat identik dengan calo tanah, calo tiket, calo angkutan, sampai calo kasus
yang belakangan populer di ranah hukum. Tetapi Anda tentu bisa menjadi
perantara tanpa harus melanggar hukum, seperti banyak perusahaan broker yang
berkembang di Amerika maupun Eropa.
Sistem Kerja
Sebagai ilustrasi, Anda bisa melihat cara kerja
afiliasi dalam penjualan rumah. Misalnya, jika Anda ingin menjual rumah,
kemudian teman Anda membantu mencarikan pembeli. Ketika transaksi pembelian berhasil
terjadi berkat bantuan teman Anda, sudah umum jika teman Anda diberi komisi
atas bantuannya tersebut
Lalu,
bagaimanakah implementasi yang kini terjadi dalam kehidupan sehari-hari?
Keruetan sistem dan keluhan dari masyarakat yang datang bertubi-tubi yang
menjadi jawaban. Jika dulu kehadiran calo dianggap membantu masyarakat,
mengingat dahulu jumlahnya belum menjamur seperti sekarang, kini justru
masyarakat merasa jengah akan kehadiran calo yang dirasa semakin mempersulit
keadaan.
Yang ironis, kini dalam perkembangannya, calo tidak
hanya ditemukan pada terminal, stasiun, pelabuhan dan Bandar udara, namun juga
dalam tes masuk mulai dari tingkat SMP, SMA, Perguruan Tinggi, dan bahkan tak
terkecuali CPNS. Praktek percaloan ini pun sudah merambah ke dalam tubuh Dewan
Permusyawaratan Rakyat (DPR). Dan yang lebih parah lagi, praktek calo pun telah
memasuki program Haji! Ya, perjalanan menuju tanah suci kini pun tidak terlepas
dari campur-tangan calo. Sungguh disayangkan, bagaimana sekiranya ibadah haji tersebut
bisadi ibadah haji yang mabrur jika didapat melalui jalur yang tidak sah
hukumnya? Fenomena ini tentunya membuat kita mengelus dada lantaran takjub
dengan penyimpangan hukum yang semakin marak terjadi di pelbagai bidang
kehidupan.
Iii. Tujuan
Melihat
fenomena yang meresahkan masyarakat tersebut, saya memutuskan untuk mengusung
topic ini, untuk menganalisis situasi ini dan mendapat benang merah untuk
menanggulangi permasalahan yang terjadi.
Karena tidak mungkin kita terus berdiam diri,
berpangku tangan melihat begitu banyak penyimpangan terjadi di depan pucuk
hidung kita tanpa berbuat apapun untuk membantu meluruskannya. Tentu saja,
meluruskan benang ruet yang terlanjur berbelit-belit menjadi gumpalan besar
benang kusut tidaklah gampang. Namun, saya yakin dengan tekad dan kesadaran
dari setiap individu di Negara ini pasti akan membuahkan hasil yang
membanggakan.
Dengan
harapan terwujudnya ketertiban sistem social dan secara tidak langsung juga
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai imbas dari terwujudnya
keamanan lingkungan social.
Jika
salah satu sistem sudah terbenahi, maka tentunya terbuka lebar kemungkinan
untuk terwujudnya ketertiban sistem-sistem lainnya. Dan pada akhirnya, kita
semua dapat melihat kehidupan Negara Indonesia yang lebih baik.
II.
PERMASALAHAN
Hambatan besar yang menjadi batu sandungan kita dalam
meluruskan praktek percaloan ini tidak lain dating dari masyarakat dan aparatur
pemerintah itu sendiri.
Masyarakat
yang hendak bepergian ataupun menyaksikan
pertandingan olahraga biasanya memesan tiket dengan cara
mengantri di loket maupun memesan via telepon atau internet. Tentunya dengan
harga standar yang sudah resmi ditetapkan oleh pihak perhubungan terkait.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah jumlah tiket yang terbatas dan bahkan
tidak sebanding dengan jumlah penumpang yang ada, terlebih lagi pada saat
hari-hari tertentu, seperti hari besar agama dan hari libur nasional.
Jumlah
tiket yang terbatas antara lain disebabkan oleh adanya calo yang sudah lebih
dulu memesan tiket dalam jumlah banyak sebelum hari H. Sehingga jumlah tiket
yang dapat dijual oleh loket pemesanan tiket menjadi terbatas bahkan pernah ada
kasus terjadinya kelangkaan tiket.
Kemudian,
dengan pintarnya para calo tersebut menjual kembali tiket pada masyarakat
dengan harga berlipat dari harga standar yang sudah ditetapkan. Inilah yang
meresahkan masyarakat. Di lain pihak, masyarakat tidak punya pilihan lain saat
loket pembelian tiket resmi pemerintah sudah kehabisan tiket. Masyarakat harus
mengeluarkan kocek lebih untuk membeli tiket yang ditawarkan oleh para calo.
Hal ini juga terjadi pada program perjalanan haji.
Masyarakat yang berada dalam waiting list tidak sabar menunggu gelombang
keberangkatan mereka ke tanah suci, dan di situasi inilah calo banyak
berkeliaran menawarkan tawaran yang menggiurkan, bahwa masyarakat yang ikut
dengannya tidak perlu menunggu waiting list untuk haji, dijamin langsung
berangkat. Hal seperti inilah yang membuat masyarakat antusias menyambut
tawaran para calo walaupun dengan harga yang jauh lebih mahal. Mereka tidak
berpikir matang karena sudah terlanjur teriming-imingi oleh rayuan calo
tersebut.
Demikian
pula yang terjadi jelang tes masuk SMP/SMA/Perguruan Tinggi/CPNS, banyak joki
yang menawarkan jasa untuk menggantikan peserta tes dengan iming-iming dijamin
lulus apapun hasil tesnya, tentu dengan harga yang tidak pernah murah.
Sebuah penawaran yang cukup menarik, bukan? Peserta tidak perlu repot mengikuti
tes masuk, cukup dengan membayar joki, kemudian duduk santai di rumah menunggu
hasil pengumuman tes tersebut. Tentu dengan perasaan tenang, karena si joki
sudah menjamin kelulusan mutlak apapun hasil tes yang didapatnya.
Sungguh
menjadi sebuah ganjalan yang sangat mengganggu bagi kita semua, saat kita
dihadapkan dengan persoalan para calo ini. Situasi yang sangat ironis bila kita
mengamati keadaan yang terjadi di terminal, stasiun, pelabuhan dan Bandar
udara. Di saat para calo menjamur dengan bebas menawarkan tiket kepada para
penumpang, di sejumlah tempat turut bersiaga juga aparat keamanan terminal
setempat. Apabila ditanya, apakah petugas keamanan tersebut tahu mengenai
fenomena calo yang meresahkan masyarakat di lingkungan kerja mereka, jawaban
yang didapat sungguh mengagetkan. Mereka jelas mengetahuinya. Namun mengapa?
Mengapa masih saja marak terjadi para calo berkeliaran dengan bebas seolah-olah tidak ada
petugas keamanan yang mengancam kehadiran
mereka?
Demikian pula di tempat praktek percaloan lainnya,
polisi pun sudah sangat tahu mengenai perihal ini. Namun, yang terlihat justru
praktek percaloan semakin marak terjadi, seolah kebal hukum. Mengapa demikian
parah??
Apakah
para petugas keamanan itu sengaja mengacuhkan kehadiran para calo tersebut?
Apakah mereka dengan sengaja menutup telinga, berpura-pura tuli, dan menutup
mata, berpura-pura buta melihat aksi para calo tersebut? Atau bisa jadi, terdapat kemungkinan
yang menyakitkan, bahwa sebenarnya para petugas keamanan itu juga turut
berkontribusi dalam melancarkan aksi para calo dan mendapat komisi dari
penjualan tiket yang dilakukan para calo?
Kita
hanya dapat menggelengkan kepala jika hal tersebut memang benar terjadi. Karena
sudah menjadi kewajiban para petugas keamanan untuk menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat, bukannya berdiam diri melihat bentuk-bentuk penyimpangan
sekecil apapun.
Memang diakui, sangatlah berat memberantas suatu
penyimpangan, jika penyimpangan tersebut sudah terjadi di seluruh system
kehidupan bernegara. Sudah turun-temurun layaknya kebudayaan agung. Sehingga
penyimpangan tersebut diabaikan dan dianggap lumrah oleh kita. Dan apabila
keadaan ini terus berlanjut, kita tinggal menunggu waktu saja untuk melihat
kehancuran Negara Indonesia tercinta ini. Sungguh menyedihkan!
III.
PEMBAHASAN MASALAH
Sebelum saya memaparkan pembahasan dari
masalah-masalah percaloan di atas, akan lebih baik jika saya memberikan
beberapa contoh kasus percaloan yang kerap terjadi di Negara kita ini.
Polisi Dinilai Lamban Tangani Kasus Calo TKI
Minggu, 30 Januari 2011 | 13:55 WIB
TEMPO Interaktif, Pamekasan - Dasuki, 52 tahun, satu dari 33 korban
penipuan calo TKI asal Desa Gugul, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan,
Jawa Timur, mengaku kecewa dengan lambannya respon polisi untuk mengungkap
kasus penipuan yang menimpanya. "Kami sudah dua kali melaporkan kasus ini
ke polisi, tapi tidak jelas juga kelanjutannya," kata Dasuki kepada Tempo,
Minggu (30/1). Dia berharap polisi segera merespon kasus itu dengan menangkap
Sarrip Baidi, calo TKI yang menipu mereka. Kepada Sarrip, Dasuki dan 33 warga
lainnya telah menyetorkan uang antara Rp 5 sampai 13 juta untuk biaya menjadi
buruh bangunan di salah satu negara Timur Tengah, di Bahrain pada 2009 lalu. Namun hingga saat
ini, keberangkatan ke bahrain tak kunjung jelas. "Saya harap Baidi segera
ditangkap, supaya uang kembali, sehingga saya bisa bayar hutang di bank,"
ujar Dasuki.
Tawaran menjadi TKI ke Bahrain itu bermula September
2009 lalu. Sarrip mendatangi Dasuki dan beberapa tetangganya untuk menjadi TKI
ke Bahrain dengan gaji Rp 5 juta perbulan. Tergiur gaji gede, Dasuki dan
beberapa warga satu desa lainnya, tertarik tawaran tersebut. Untuk mendaftarkan
diri Sarrip mengarahkan Dasuki ke Maskur, calo TKI lain yang tidak dikenalnya.
Maskur yang merupakan warga Desa Ombul, Bangkalan, kemudian secara bertahap
meminta uang Rp 5 juta untuk pembuatan paspor dan 4 juta untuk visa dan foto.
Setelah hampir setahun tak ada kabar, pada 6 oktober 2010 lalu, Maskur
menampung 54 calon TKI dari Tlanakan menuju sebuah pesantren di Desa Mangkon,
Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Sebulan di penampungan, nasib Dasuki
dan calon TKI lainnya, tak segera diberangkatkan. " Sejak saat itu, saya
yakin kami jadi korban penipuan dan lapor polisi," kenang Dasuki.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Pamekasan,
Ajun Komisaris Nur Amin membenarkan para korban penipuan sudah dua kali
melaporkan kasus tersebut ke pihaknya. Namun dia membantah polisi disebut tidak
serius menangani kasus penipuan 33 calon
TKI itu. "Kami masih berupaya melakukan pengungkapan," katanya.
MUSTHOFA BISRI
Penipuan Calon Haji Marak di Sleman
Rabu, 16 Maret 2011 | 13:51 WIB
TEMPO Interaktif, Sleman-Penipuan kepada para calon
jemaah haji marak di Sleman, Yogyakarta. Modusnya dengan menjanjikan
keberangkatan calon haji tanpa melalui daftar tunggu. Namun pelaku yang mengaku
dari Kementerian Agama meminta calon
jemaah menyetorkan sejumlah uang.
“Kami sudah menerima tiga pengaduan soal penipuan itu,
tetapi itu bisa dicegah, maka kami mengimbau para calon jamaah haji hati-hati,”
kata Kepala Kantor Departeman Agama Sleman, Arif Djufandi, Rabu 16 Maret 2011.
Modus pelaku meminta calon korban untuk meyetorkan
uang di luar biaya uang pendaftaran haji yang nilainya Rp 20 juta. Padahal dari
Kementerian Agama tidak pernah memungut uang pendaftaran di luar itu. apalagi,
dalam daftar tunggu, nama sudah masuk dalam SIKOHAT (Sistem Komputerisasi Haji
Terpadu) yang tidak bisa diubah nomor urutnya. Penipuan itu terjadi karena
semakin banyaknya calon jamaah haji yang masuk dalam daftar tunggu (waiting list).
Di Kabupaten Sleman, saat ini daftar tunggu sudah
sampai tahun 2018. Yaitu sudah ada 8.350 warga Sleman yang masuk daftar tunggu,
padahal biasanya setiap tahun Sleman hanya mendapat jatah kuota untuk 1.200
orang dari total kuota 3.091orang kuota yang diperoleh Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Selain itu, tambah dia, ada kecurigaan pada masyarakat
adanya penggunaan Kartu Tanda Penduduk palsu untuk mendaftar haji di daerah
DIY. Kantor Kemementerian Agama tidak bisa memastikan keaslian tana identitas
itu kecuali hanya dengan mencocokkan kartu nikah.
“Jika menggunakan identitas palsu maka akan dicoret
oleh kantor Kementerian Agama pusat,” kata dia.
MUH SYAIFULLAH
Diduga Calo, 2 Lelaki Dihajar Calon Penonton
Mereka diduga adalah calo tiket pertandingan kedua semifinal
Piala AFF 2010.
VIVAnews - Dua orang lelaki menjadi bulan-bulanan
bogem mentah calon penonton. Mereka diduga adalah calo tiket pertandingan kedua
semifinal Piala AFF 2010 antara Indonesia kontra Filipina.
Para calon penonton yang masih memegang tiket biru
tiba-tiba mengejar dua lelaki yang mengenakan kaus biru dan jaket abu-abu saat
keluar dari pintu 10 Stadion Gelora Bung Karno, Minggu 19 Desember 2010.
Para calon penonton melihat dua orang itu membawa
setumpuk tiket dan lembaran uang puluhan ribu rupiah.
Namun, lelaki yang mengenakan jaket abu-abu berhasil
kabur meski sempat kena pukulan para calon penonton. Dia melarikan diri keluar
dari stadion. Namun, nasib lelaki yang mengenakan kaus biru tidak seberuntung
temannya.
Lelaki yang belum diketahui identitasnya itu dikejar
massa dan akhirnya terpojok di gerbang masuk stadion. Bogem dari calon penonton
berulang kali mendarat di badan lelaki itu.
Lelaki itu diinterogasi para calon penonton. Karena
dari tas yang dibawa lelaki itu ditemukan puluhan tiket dan uang puluhan ribu
rupiah. Lelaki itu mengaku kalau tiket yang dibawanya dibeli secara resmi.
"Ini tiket resmi dan ada tanda terimanya. Saya bukan calo," ujarnya.
Namun, kejadian ini tak berlangsung lama. Petugas
keamanan langsung mencoba mengamankan situasi yang semakin panas itu. Lelaki
itu pun kemudian lari masuk ke kerumunan petugas keamanan di Sektor XIX. (hs)
Praktek Calo Sudah Kronis
Mahfudz Siddiq: Anggota DPR-RI dari FPKS Dapil
Kota/kab Cirebon-Indramayu, Jawa Barat
Jakarta - Kasus calo alutsista menggoyang gedung
parlemen. Ketua FPKS Mahfudz Siddiq menilai praktek calo yang telah membuat
APBN tidak efisien dan produktif
memang sudah sampai pada level yang kronis.
"Percaloan ini sudah jadi lingkaran setan yang
melibatkan pihak eksekutif, DPR, dan
pengusaha," ujar Mafudz kepada detikcom, Sabtu
(27/10/2007).
Jika ingin dibenahi secara tuntas, imbuh Mahfudz,
tidak bisa tidak, harus dilakukan
pembicaraan dan kesepakatan di level kelembagaan.
"Perlu digelar rapat konsultasi khusus antara
Presiden, DPR dan BPK. Jika ini tidak
segera dilakukan yang dirugikan adalah negara dan
rakyat," tegasnya.
Percaloan yang membuat panas kuping anggota DPR
bermula dari pernyataan
Menhan Juwono Sudarsono. Menhan mengungkapkan tidak
efisiennya anggaran
pertahanan salah satunya disebabkan karena adanya
calo-calo proyek pengadaan alutsista.
Kepala Terminal Akui Calo Tiket Bus Kerap Beroperasi
di Pulogadung
Jakarta - Tawuran di terminal bus antar kota
Pulogadung dipicu karena calo kerap menawarkan harga tiket bus yang harganya
tidak wajar kepada calon penumpang. Pengelola terminal mengakui keberadaan calo
memang kerap beroperasi di wilayah ini.
"Kita tidak menutup kemungkinan calo tiket memang
ada di sini," kata Kepala Terminal Pulogadung Muhammad Nur kepada wartawan,
Senin (4/4) malam.
Diakuinya, Dinas Perhubungan kerap melakukan pembinaan
kepada calo-calo tiket untuk tidak bertindak sewenang-wenang melakukan tindakan
yang dapat merugikan para calon penumpang. "Termasuk menaikan harga tiket
bus," tegas Nur.
Terkait pemicu bentrokan, dirinya menyatakan petugas
terminal masih melakukan penyelidikan terkait hal tersebut.
"Kita belum tahu PO bus mana, masih dalam
penyelidikan," ujarnya.
Bila ditemukan ada PO (perusahaan otobus) yang
melakukan pelanggaran harga tiket, petugas Terminal Pulogadung tidak mampu
mengambil tindakan atau sanksi terkait temuan tersebut.
"Kejadian ini akan menjadi catatan kita untuk
dilaporkan. Sanksi Dirjen Pehubungan Darat yang akan menindaklanjutinya,"
jelas Nur.
Bentrokan antar kedua kelompok tersebut terjadi dua
kali. Sebelumnya 4 orang anggota FBR mendatangi PO Bus untuk menindaklanjuti
keluhan anggota keluarga FBR soal tiket bus yang dinilai tidak wajar.
Bentrok susulan terjadi kembali sekitar pukul 21.00
WIB. Bentrok susulan terjadi dengan jumlah massa FBR yang berjumlah sekitar
200an orang. 3 Orang diamankan polisi dan kemudian dibebaskan setelah
menandatangani pernyataan damai.
Awas, Calo dan Joki Bergentayangan Jelang Tes CPNS
Depok
REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK--Keberadaan calo atau joki
semakin bergentayangan memasuki tes Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD)
Kota Depok, pada 5 Desember 2010 mendatang. Para calo menjanjikan kepada
peserta tes akan lolos dengan hasil tes apapun, sedangkan joki mengiming-imingi
dengan hasil tes yang dikerjakannya akan memuaskan dan menjaminnya lolos
menjadi PNS.
Sebut saja, Eka, 24 tahun, yang marah-marah karena
merasa dikerjai oleh calo. Ia menuturkan, pada Senin (29/11) malam, ia
dihubungi oleh pihak yang mengaku dari staf bagian kepegawaian Setda Pemkot
Depok, untuk datang ke kantor keesokan harinya. Oknum tersebut beralasan,
persyaratan administrasi yang diajukan Eka belum lengkap.
“Sebenarnya saya ragu. Karena peserta yang lolos sudah
diumumkan di situs Pemkot Depok dan nama saya tidak lolos dalam tes tersebut,”
ungkap Eka yang menghubungi Republika melalui telepon genggam, Selasa (30/11).
Adanya sepercik harapan, membuat Eka kemudian memenuhi
permintaan oknum tersebut. Saat sudah berada di areal kantor Pemkot Depok, pada
Selasa (30/11) sekitar pukul 08.00 WIB, tiba-tiba ia kembali dihubungi oknum
yang mengaku bernama Asep itu, untuk bertemu di sisi lapangan areal Pemkot
Depok.
Ketika bertemu dengan oknum tersebut, Eka langsung
dimintai uang sebesar Rp 30 juta. Menurut Asep, tambah Eka, uang tersebut
digunakan untuk meloloskannya mengikuti tes CPNS. Selain itu, ia juga
dijanjikan untuk lolos menjadi PNS, apapun hasil tes tersebut.
Melihat gelagat yang aneh dari Asep, Eka tidak
memenuhi permintaannya. Ia berkelit akan bertanya langsung kepada Bagian
Kepegawaian Setda Pemkot Depok, terkait adanya pungutan tersebut. “Ia malah
marah-marah dan mengancam saya untuk tidak memberitahukan hal ini. Saya tidak
takut. Saya mau lolos menjadi PNS karena memang saya mampu, buka karena uang
sogokan,” geramnya.
Hal yang sama dialami Deni, 25 tahun. Namun bukan calo
yang ia hadapi, tapi seorang joki menawarkannya untuk menggunakan jasa
kepintaran joki yang mengaku lulusan Fakultas Teknik Universitas Indonesia
(UI). Ia didekati joki tersebut pada saat pendaftaran untuk mengikuti tes CPNS
yang diselenggarakan pada 12-19 November lalu. Sedangkan pengumuman tes CPNS
tahap I (Seleksi Administrasi) diumumkan pada 27 November lalu.
Namun begitu, iming-iming lolos menjadi PNS dari joki,
tidak membuatnya tergiur. Apalagi bayang-bayang hukum pidana dalam penggunaan
joki, semakin membuatnya tidak tertarik dengan tawaran joki tersebut. “Saya
tidak percaya dengan joki. Jangan-jangan hanya penipuan saja,” ucapnya singkat.
”Kami bukan penipu ataupun pencuri”
ADA sekitar 70 orang calo yang bercokol di Terminal
Bis Pulo Gadung--itu stasiun pelemparan penumpang ke luar Kota Jakarta. Mereka
adalah orang-orang resmi dari perusahaan bis yang diberi julukan manis:
"pengurus". Lengkap dengan kartu pengenal tergantung di dada atau
ikat pinggang mereka. Setiap satu jalur--dari 14 jalur yang ada--ditunggu oleh
5 pengurus. Mereka tidak dapat gaji resmi dari perusahaan, tapi hanya berupa
persen alias komisi dari bis--sekitar 10% dari jumlah penumpang. Yang tidak
memiliki kartu pengenal, jumlahnya sampai 20 orang. Mereka beroperasi di
sebelah timur stasiun pada loket bis-bis cepat. Perangai mereka ini biasanya
sopan dan lemah lembut kalau sedang dalam tahap mendekati penumpang. Namun
kalau sudah menjadi urusan uang, bisa kasar. Wartawan TEMPO sendiri sempat
memergoki bagaimana seorang calo bersitegang leher mengatakan baru menerima Rp
Z000, padahal penumpang sudah merasa memberikan Rp 3 ribu. Di Kemayoran Kalau
penumpang tak kalah galak dan berani keras-kerasan urat leher calo sedikit
surut. Lalu sasarannya beralih ke kondektur bis bersangkutan, agar memberikan
uang jasa atau uang apa namanya. Sambil tak lupa berbisik ke telinga kondektur:
"Kalau sudah keluar kota, todong penumpang itu, supaya bayar kekurangan
tadi. Kalau tidak mau, suruh turun saja di jalan!" Namun calo yang bernama
"A Pe" lain lagi. Celananya coklat, kedodoran dan dekil. Bau juga
kedodoran. Ia terus terang mengaku sebagai calo "Mau bilang calo atau apa
saja terserah, mau apa lagi, yang pokok saya cari makan," ujarnya.
Tampangnya segera menampilkan gambaran bahwa tekanan ekonomilah yang membuatnya
menjadi calo. Rambutnya sudah memutih, beberapa gigi tidak hadir lagi, sehingga
bibirnya agak melipat ke dalam. Ia sudah gaek-52 tahun--toh nasib tak
membiarkannya beristirahat. Setiap hari mondar-mandir di terminal memburu
mereka yang berangkat ke Bandung sambil mengumbar tegur sapa -- sehingga
suaranya serak. A Pe bekerja sejak pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore. "Ada
sekitar 15 perusahaan bis yang Oom layani, tapi kadang-kadang cuma 5 bis yang
masuk jalur," keluhnya. Sekutunya dalam satu jalur jauh lebih muda usia,
sehingga ia memperoleh pembagian yang lebih kecil. Hanya Rp 100 diterimanya
dari setiap kondektur. "Ini hari saja, sudah pukul dua, baru 4 bis yang
masuk. Berarti hanya Rp 400--sudah habis buat makan siang saja," katanya
sambil mengisap kretek yang rupanya selalu terbakar di sela bibirnya. Tapi
begitu selesai ngomong, seorang penumpang datang, lalu menyodorkan selembar
ribuan. Dengan tenang A Pe menerima dan menyatukan ke dalam dompet -- yang
berisi beberapa lembar ribuan. Sebelum jadi calo, Oom ini bekerja di Departemen
Keuangan di Bandung selama 21 tahun. Nggak tahu kenapa tidak punya pensiunan.
Setelah itu ia bekerja di pabrik roti. Pabrik bangkrut. Akhirnya ia jadi calo
di terminal, sudah belasan tahun. Pernah tinggal di Solo dan Bandung. Di Pulo
Gadung ia paling tua dan tampak paling sendu. "Tapi begini-begini sudah
ada kegiatan juga sudah senang. Daripada nganggur saja di rumahkan lebih
menyenangkan ada pemasukan, biar cuma Rp 100," katanya. Calo tidak hanya
merubung terminal bis. Penumpang pesawat udara juga merupakan makanan sedap,
Seorang petugas di Pelabuhan Udara Kemayoran (Jakarta) mengatakan kepada TEMPO
bahwa sudah 20 orang calo yang tertangkap, langsung dibawa ke Komdak. Tapi tidak
berarti tempat itu sudah steril. Kalau petugas "Satpam" (satuan
pengaman) tampak, mereka memang menghilang. Kalau sudah aman, hidungnya jelas
tampak kembang-kempis mencium kantong calon penumpang. "H salah seorang
calo tiket kapal udara sudah beroperasi di Angkasa Pura Kemayoran sejak 1963.
"Sejak masih bujangan, sampai punya isteri dan anak enam," katanya.
"Habis mau kerja di mana lagi? Mau jadi pegawai, gaji tidak sampai cepek
(Rp 100 ribu) sedang biaya hidup kita satu hari saja paling kurang tiga ribu."
Menurut pengakuannya, satu hari paling kurang ia bisa menangkap Rp 5
ribu--kalau kerja sejak pagi. H mengakui penghasilan calo di Kemayoran lumayan.
Untuk satu karcis bisa tawar menawar dengan penumpang. Selisih dari harga
resrni bisa jatuh di sekitar Rp 10 ribu. Bayangkan kalau sampai beberapa buah
karcis. Dari jumlah itu biasanya Rp 1.000 disodorkan kepada para petugas yang
mau diajak kedip-kedipan mata. "Tu, si Kumis, galak betul dia. Tapi gua
kasih seribu, mau juga dia terima," kata H sarnbil menunjuk seorang
petugas yang kebetulan lewat. "Saya sudah belasan tahun di sini, tetapi
belum bernasib mujur," kata H lebih lanjut. Kenapa? Calo yang bicara
dengan logat Betawi ini menunjuk rekannya, bekas calo, yang sekarang punya
usaha sendiri. Punya rumah bernilai ratusan juta dan mondar-mandir naik
pesawat. H sendiri hanya punya rumah di pinggiran Jakarta, sebuah mobil Corolla
yang sekaligus ditaksi-gelapkan. Sekali lagi ia katakan hartanya belum apa-apa,
jika dibanding sejawatnya yang sampai mampu membangun rumah seharga Rp 300
juta. "Kita kalau jujur sama langganan, bisa dipercaya," katanya
memberikan kuliah singkat tentang dunia calo. "Mula-mula kita disuruh
antri beli tiket, karena mereka mau enak-enakan makan dan menunggu di restoran.
Lama-lama dpercaya, minta pinam uang untuk modal, me,reka berikan." H
belum pernah ditangkap. Padahal dalam penggerebegan baru-baru ini ada
teman-temannya yang kena gulung. Tapi mereka hanya ditahan 2 hari, kemudian
dilepas. "Habis kita kan tidak menipu atau menjambret," kata H kasih
alasan. Ia sendiri karena lama bertahan pada profesi ini malah dapat julukan
"lurah". Risiko ditangkap baginya sangat kecil. Kecuali pada
hari-hari menjelang Natal. Pada hari-hari itu, biasanya ia pergi ke Halim,
untuk memburu orang-orang yang hendak berlibur ke Singapura. "Di sana
risiko lebih besar, karena calo tiket memang dilarang. Cuma kalau tahu
jalannya, bisa juga dpat beberapa puluh ribu." Tiba-tiba muncul seorang
calo lain. Ia bisik-bisik dengan H. "Langganannya hilang," kata H
kemudian kepada seorang petugas yang juga ikut nimbrung omong-omong. Hubungan H
dengan para petugas tampak akrab. karena ia malah berani kasih nasehat-nasehat.
"Jadi petugas, jangan sok kuasa," katanya, "orang jahatlah yang
ditangkap, jangan kita orang cari makan begini yang ditangkap. Memangnya kita
menipu atau memeras orang? Toh langganan datang sendiri mendekati calo!"
Kalau Antri Jadi cao penumpang pesawat udara memang lebih gendut dari penumpang
bis. Bagaimana dengan calo penumpang kereta api?
Pembantu TEMPO Max S. Wangkar berhasil mengintip
seorang calo di Stasiun Jakarta Kota. Ia berdiri di depan stasiun dengan
parlentenya. Sepatu coklat mengkilap, celana krem dan baju garis-garis hitam
berharga belasan ribu. Mulumya komat-kamit mengisap permen mentol. Kurus dan
muda, 24 tahun. "Sudah lima atau enam tahun saya menjadi calo di
sini," katanya. Ia mengaku bernama F. Untuk karcis kereta Bima dan
Mutiara, ia bisa menawarkan antara empat sampai lima ribu di atas harga
resmi-untuk Jakarta Surabaya. "Kita di sini lidak seperti di Gambir, harus
antri. Kalau kita ikut antri, maka tak berapa lama kita bisa ditangkap. Maka
kita hanya boleh membeli karcis dari petugas keamanan stasiun sendiri,"
kata calo itu. "Kalau seandainya kita yang antri, paling juga cuma seribu
sampai seribu lima ratus yang kita minta." Jadi harga catut yang tinggi
itu disebabkan karena orang dalam sudah minta sekitar Rp 4000-an. Tidak seperti
Stasiun Senen atau Gambir, Stasiun Kota adalah stasiun untuk orang-orang kaya.
Karenanya tempat operasi calo ini sering dapat sorotan keras.
"Sedikit-sedikit ada pembersihan calo. Gara-gara itu, tahun ini
penghasilan saya banyak berkurang," kata F. Pernah ditangkap?
"Dimasukkan sel di dalam stasiun pernah, tapi masuk penjara, belum. Habis
mana ada bukti saya mencuri atau menipu orang? Dan seandainya saya akan
dihadapkan ke pengadilan, saya bongkar semua rahasia manipulasi di sini. Kalau
perlu dengan Pak Sudomo!" gertaknya dengan gayanya. Ia melihat ada
ketidakadilan. "Saya rasa tidak benar dong kalau ada apa-apa, lalu kita
yang ditangkap, padahal petugas keamanan sendiri ikut jadi calo,"
ungkapnya. Apa benar? Wallahu 'alam. Soal menipu, F mengatakan tidak mungkin
dilakukan oleh calo. "Habis kita kan setiap hari di sini, mana bisa.
Memangnya besok kita tidak kembali lagi?" tanyanya balik. Lalu ia
bercerita. Satu ketika di bulan Juli lalu ada 2 cewek Cina mau ke Surabaya.
Mereka minta 3 karcis. F kasih harga Rp 52 ribu, lalu ditawar Rp 50 ribu.
Karena tidak klop, jual beli batal. Lantas muncul seorang pemuda Cina.
"Kami sangka masih saudara wanita itu. Ia langsung masuk ke ruang kepala
stasiun, kemudian keluar lagi dan minta duit dari wanita itu," kata F.
Uang diberikan. Kedua wanita disuruh tunggu. Tetapi kemudian pemuda itu tidak
kembali lagi. "Akibatnya kami dicurigai menipu, lalu masuk sel 24
jam," kata F. Sebagai calo, F mengaku tidak ada kepastian penghasilan.
Bisa dapat bersih Rp 6 ribu satu hari, bisa juga hanya beberapa ratus rupiah.
Tapi ia sudah membuktikan hidup dalam dunia calo sepanjang tahun bisa. Dengan
catatan, sekali-sekali kalau ada "bola" di Senayan, langsung mengejar
rezeki sebagai catut karcis bola. Menurut orang ini, sebenarnya pengertian calo
dan catut ada bedanya. Calo hanyalah
perantara membeli karcis dengan imbalan uang lelah 10% dari harga karcis.
SedangKan catut, beli karcis dulu dengan uang sendiri, kemudian dijual kembali
dengan harga mahal. Menurut F, tidak ada organisasi calo yang dikenalnya.
"Sesama calo saja kadang-kadang ada yang saling menipu," katanya
menjelaskan. Di stasiun Kota ia taksir ada sekitar 15 orang calo. Mereka
bekerja tanpa beking. "Wah kalau pakai beking bisa-bisa kita yang kena
peras," ujar F. Paling banter mereka hanya kumpul-kumpul kalau ketemu di
Senayan sambil tukar pengalaman. Mereka berasal dari segala pelosok tanah air.
Masa depannya ia akui tidak jelas. "Yah kalau ada jalan bagi, saya akan
ikut dalam perusahaan ekspedisi kelak. Ekspedisi kereta api," kata F
membayangkan. Aturannya Calo tidak hanya diciptakan oleh Jakarta. Di seluruh
tanah air calo dan catut berserakan. Mereka memburu malian, kadangkala tidak
hanya sekedar ganjal perut, tapi mencari hidup yang lebih layak -- yang tak
dimungkinkan oleh kerja lain. Sebab hubungan tidak resmi dengan "orang
dalam" dan "petugas keamanan" -- meskipun sudah dicoba dibasmi
oleh Pemerintah, masih saja bisa terjadi. Hubungan tersebut menyebabkan
pekerjaan itu jadi basah dan subur. Ya, siapa yang tidak ngiler. Di Bandung
calo-calo menyediakan uang rokok untuk menjinakkan petugas patroli. Kalau ada 6
petugas, mereka menyiapkan 6 bungkus rokok. "Itulah aturannya. Kalau tidak
ditaati, barangkali kami sudah lama diusir dari sini," ujar N seorang calo
di sebuah terminal bis Bandung. Sebenarnya ia seorang karyawan terminal.
"Tapi gaji Rp 15 ribu, mana cukup untuk hidup sekeluarga, jadi calo
lumayan, setiap bulan bisa beli beras," katanya terang-terangan kepada
TEMPO. Meskipun lebaran tahun ini lebih sepi dan harga-harga melangit, kerja di
terminal sambil merangkap jadi calo tetap ingin dipertahankannya. "Saya
pernah diajak teman kerja di pabrik tekstil dengan gaji Rp 17 ribu, saya tolak.
Di sini kan banyak waktu senggang yang bisa digunakan untuk mencalo," kata
N dengan tenang. Sementara itu Engkom (49 tahun) calo di stasiun KA Bandung
menambahkan:
"Mula-mula memang saya segan juga mengikuti jejak
teman-teman, tapi daripada keluarga terlantar, apa boleh buat." Hanya saja
pekerjaannya itu ia rahasiakan terhadap anak-anaknya. Ia mengaku tetap jadi
pedagang di Pasar Baru. Hanya isterinya yang tahu ia jadi calo. Kenapa? Lelaki
yang semula berdagang sayur ini menjawab jujur "Sengaja tak diberi tahu
agar mereka tidak merasa rendah diri bergaul dengan teman-temannya."
Metrotvnews.com,
Tangerang: Petugas gabungan dari PT Angkasa Pura II, Polres Bandara Soekarno
Hatta dan TNI melakukan razia terhadap kegiatan ilegal yang beroperasi di
Terminal I Bandara Soekarno Hatta.
Aparat melakukan penyisiran mulai dari terminal
keberangkatan hingga terminal kedatangan Bandara Seokarno Hatta. Tidak hanya
itu petugas juga menyisir ruang tunggu calon penumpang.
Dalam penyisiran itu, petugas masih menemukan para
calo tiket dan awak taksi gelap yang masih berkeliaran. Petugas berhasil
mengamankan sedikitnya 17 calo tiket pesawat dan 53 awak taksi gelap yang biasa
beroperasi di terminal satu.
Petugas
langsung mengamankan dan membawa puluhan calo tiket dan awak taksi gelap ke
kantor keamanan setempat untuk didata dan diberikan sanksi. Mereka diamankan
lantaran melakukan aktifitas tanpa seizin dari PT Angkasa Pura II.
Mulya Abdi, Deputi Senior General Manager PT Angkasa Pura
II, menyayangkan belum ada undang-undang ataupun peraturan daerah yang mengatur
sanksi bagi para pelanggar yang dapat membuat efek jera. Saat ini, pihaknya
masih menggunakan peraturan yang ada di Angkasa Pura II.
Demi kenyamanan penumpang, razia serupa akan terus
dilakukan hingga seluruh kawasan Bandara Soekarno Hatta bersih dari aktifitas
calo tiket dan taksi gelap.
Demikian
beberapa contoh kasus praktek percaloan yang dapat saya tulis. Saat
membaca kasus-kasus di atas, sejenak saya mengernyitkan dahi. Heran. Saya dapat
menyimpulkan bahwa, pertumbuhan calo yang terus basah dan subur ini tidak lain
karena petugas-petugas terkait yang tidak tegas dengan peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Misalnya, pada terminal atau stasiun, atau pelabuhan,
atau juga bandara. Di sana jelas-jelas terdapat peraturan, yang pastinya
diketahui semua pihak perhubungan terkait, yakni dilarang tegas calo tiket.
Namun, yang terjadi adalah seolah-olah tidak pernah ada hukum seperti itu.
Praktek calo tetap berjalan mulus.
Orang dalam atau petugas keamanan perhubungan terkait
dengan sengaja membiarkan calo tiket berkeliaran menawarkan tiket kepada
penumpang, tentu karena satu alas an. Ya, mereka turut merasakan keuntungan
barang Rp 1.000 atau minimal Rp 500 dari hasil penjualan tiket para calo itu.
Namun, bagi saya, calo tetaplah manusia. Dilihat dari
sisi kemanusiaan, tidak ada orang yang berniat ataupun bercita-cita menjadi
calo. Seorang pencuri pun, dia tidak pernah terbayangkan saat dia masih kecil,
bahwa dewasa nanti dia aka menjadi seorang pencuri. Lalu apa benang merah dari
semua ini? Jelas, tuntutan hidup akan ekonomilah yang menyebabkan mereka
terpaksa mengais rejeki dengan cara illegal yang sudah pasti tidak halal.
Melalui wawancara yang dilakukan media kepada sejumlah calo, terkuak kenyataan
yang cukup pahit didengar. Ya, para calo mengaku kalau mereka terhimpit
kebutuhan hidup yang demikian banyak. Sebagai kepala keluarga mereka harus
menafkahi anak dan istri yang menunggu di rumah. Sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan
di jaman seperti ini membuat mereka tidak punya pilihan lain. Ditambah lagi
mereka tidak memiliki skill yang memadai untuk melamar menjadi karyawan
kantoran ataupun pegawai negeri sipil. Lahan rejeki untuk mereka sangatlah
terbatas. Namun, kebutuhan hidup tidak bias menunggu, mereka harus bergerak
mencari uang, demi sesuap nasi. Menurut mereka, upah yang didapat sehari-hari
dengan menjadi calo lebih lumayan daripada menjadi buruh pabrik. Menjadi calo
jelas lebih santai dan ringan, ketimbang berbanjir peluh dan penat bekerja di
pabrik. Sungguh menyentuh hati mendengarnya.
Lalu, bagaimana dengan razia calo yang kerap dilakukan
oleh satuan reserse? Para calo mengaku, gampang mengakali semua itu. Saat kabar
razia terdengar, mereka untuk sementara akan berhenti menjadi calo, tapi nanti
sesudah selesai razia, mereka akan kembali lagi.
Ini menjadi pemikiran yang sangat serius bagi saya.
Penyimpangan yang kerap terjadi dan juga koalisi antara calo dan orang dalam. Koalisi
inilah yang menyulitkan tegaknya hukum di tempat tersebut. Pemerintah memang
kerap melakukan pembersihan calo di sejumlah tempat dan menangkap calo-calo
yang kepergok tengah beraksi, mengapa hal seperti ini tetap menjadi PR bagi
pemerintah?
Menurut saya, di Negara kita ini belum ada hukum yang
secara tegas terkandung di dalamnya mengenai percaloan. Karena bagaimanapun,
kasus calo tidak bisa disamakan dengan kasus penipuan ataupun pencurian,
kecuali jika memang terdapat hal yang disebut sebelumnya. Saya melihat tidak
ada undang-undang yang mengatur tentang hal ini, ini mengakibatkan penyelesaian
kasus calo menjadi kabur. Apakah undang-undang yang dipakai sebagai acuan
penangkapan para calo? Berapa lama masa hukuman yang ditetapkan untuk para
calo? Dan apa sebaiknya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah ini, agar
menimbulkan efek jera bagi para pelakunya?
Berikut ini saya mengutip sebuah berita yang saya
ambil dari media berita online mengenai perundang-undangan calo.
Undang-undang tentang Calo
Jakarta - Indonesian Parliamentary Center (IPC)
menilai ketertutupan DPR dalam sejumlah rapat-rapatnya berpotensi menyuburkan
praktik percaloan anggaran yang dilakukan justru oleh kalangan anggota parlemen
itu sendiri. "Jika DPR masih mempertahankan ketertutupan seperti ini, maka
bukan saja melanggar undang-undang tetapi juga menjadi pihak yang turut serta
menyuburkan praktik percaloan anggaran," ujar aktivis IPC Ahmad Hanafi, di
Jakarta, Rabu.
Ahmad Hanafi mengatakan, tanpa tekanan publik, amat
diragukan DPR mau membuka diri karena beberapa kasus menunjukkan, justru oknum
anggota DPR sen-dirilah yang menjadi calo anggaran. Padahal, ia menambahkan,
Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang
disahkan DPR telah sedemikian tegas meminta keterbukaan itu. Bahkan hanya undang-undang
keterbukaan informasi publik di Indonesia yang mencantumkan adanya sanksi
pidana.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa ketertutupan itu pula
yang memicu hadirnya sejumlah program kontroversial DPR yang disepakati oleh
badan Dewan lainnya. "Rencana pembangunan gedung baru DPR, rencana
penambahan tenaga ahli, kenaikan anggaran kunjungan kerja dan anggaran
kesehatan anggota DPR, kunjungan kerja ke
Prancis, Jerman, dan Maroko, dan program kontroversi
lain disepakati dalam rapat-rapat tertutup Badan Urusan Rumah Tangga (BURT),
sebuah Badan yang rapat-rapatnya tidak pernah terbuka untuk publik," kata
Hanafi.
Demikian pula dengan Rapat Badan Anggaran yang
menyetujui program percepatan pembangunan daerah diambil dalam rapat yang
tertutup, dinilai IPC ada ketidakberesan dalam proses pengambilan keputusannya.
"Inilah kebiasaan buruk DPR. Padahal UU No 27 Tahun 2009 jelas menyatakan
bahwa semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka kecuali rapat tertentu
yang dinyatakan tertutup. Demikian pula dalam talib DPR bahwarapat DPR bersifat
terbuka, kecuali yang dinyatakan tertutup," ujamya.
Atas usulan dana aspirasi yang pernah mencuat beberapa
waktu lalu, IPC memandang bahwa alasan yang sering diungkapkan pengusul dana
aspirasi itu karena daerah selama ini sulit mengakses dana stimulus, harusnya
disadari para anggota DPR itu sebagai imbas dari ketertutupan yang selama ini
terjadi.
Dengan adanya UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, semestinya anggota DPR mendorong semaksimal mungkin
keterbukaan di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. "Tetapi
kenyataannya, DPR sendiri menjadi institusi yang tidak siap mengimplementasikan
UU tersebut," katanya.
Setelah membaca artikel di atas, saya makin pusing.
Lho, ternyata dalam tubuh DPR pun terdapat calo, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan mafia hukum. Benar-benar canggih Negara kita ini!
Kini dipertanyakan, siapa sebenarnya yang salah? Si
calo? Ataukah para pemimpin negeri ini yang tidak tegas dalam menegakkan hukum?
Ataukah salahkan nasib Negara kita yang bobrok sehingga rakyatnya kesulitan
mencari sesuap nasi? Kalau dipaksa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan di
atas, pastilah saya sudah mati duluan sebelum bisa berpikir. Terlalu banyak
penyimpangan yang awalnya kecil, namun karena terus dibiarkan berlarut-larut,
maka menjadi momok yang menakutkan. Terlalu banyak kelonggaran di awal sehingga
menjadi lepas kendali seperti sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar