ESSAY QUESTION
International Relation Europe
Lecturer : Hikmawan Saefullah
1) Essay question
Dalam kategori teori system dunia (world-system theory), apakah Perancis
merupakan bagian dari core country ?
2) Argument / thesis statement
Jawabannya adalah ya. Perancis merupakan bagian dari
core-countries bersama Inggris, Jerman, Italia, dan Belgia. Dikatakan demikian
karena berdasarkan analisis saya, Perancis memenuhi apa yang menjadi
karakteristik dari pada core-countries itu sendiri. Sebuah Negara termasuk ke
dalam core countries atau tidak dilihat dari beberapa indicator, yaitu terdapat
nilai-nilai positif globalisasi seperti tingkat pertumbuhan industri yang
tinggi, pembangunan modern (upah kerja yang lebih besar, tersedianya akses ke
pelayanan-pelayanan kesehatan, tersedianya bahan makanan yang cukup dan air
bersih), inovasi-inovasi di bidang teknologi, dan kemajuan ekonomi yang pesat.
Pembagian Negara core countries dan tidak, termuat
dalam teori ketergantungan yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, di antaranya
Andre Gunder Frank dan Imanuel Wallerstein. Andre Gunder Frank membagi Negara
menjadi dua kelas, yaitu core countries (pusat atau inti) dan periphery
countries (pinggiran). Sedangkan Imanuel Wallerstein membagi Negara menjadi
tiga kelas, yaitu : core countries, semi-periphery countries, dan periphery
countries. Wallerstain menjabarkan bahwa Negara-negara di dunia pada dasarnya
terbagi pada tiga kelompok besar yang posisinya ditentukan secara hierarkis.
Pertama, kelompok Negara industry kaya yang secara militer dan ekonomis lebih
kuat dari Negara lain sehingga menempatkannya dalam posisi core (pusat). Kedua,
kelompok Negara pinggiran (periphery) yang biasanya mengandalkan sector pertanian
yang tidak padat modal dan teknologi. Ketiga, kelompok Negara semi-periphery
(setengah pinggiran) yang merupakan peralihan dari antara sector pertanian dan industry
yang posisinya sangat tergantung pada negara-negara core dan periphery. Ketiga
kelompok ini kemudian membentuk system kapitalisme dunia. (Hadiwinata. 2002 :
50).
Pada decade sebelumnya, teori ketergantungan
dikembangkan akhir tahun 1950-an di bawah bimbingan Raul Prebisch yang merasa
terganggu oleh fakta bahwa pertumbuhan ekonomi di Negara-negara industry maju
tidak selalu mengakibatkan pertumbuhan di Negara miskin. Negara-negara core
countries memiliki ciri yang sama yaitu kemiskinan dalam sumber daya alam, hal
ini berkebalikan Negara periphery yang memiliki kekayaan alam melimpah namun
tidak didukung oleh tenaga ahli yang memadai. Atas factor ini, Negara miskin
mengekspor bahan-bahan mentah ke Negara maju, kemudian Negara maju mengolah
bahan mentah tersebut menjadi barang produksi siap pakai yang akan dijual
kembali kepada Negara miskin. Nilai tambah yang diperoleh dari penggunaan
pembuatan produk akan selalu menghabiskan biaya yang lebih mahal daripada biaya
bahan mentah yang digunakan untuk membuat produk tersebut.
Untuk selanjutnya teori ketergantungan ini juga dikembangkan
oleh Andre Gunder Frank. Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperialism,
kelompok ini berpendapat bahwa imperialism masih hidup namun dalam bentuk lain
yaitu dominasi Negara-negara kaya terhadap Negara-negara yang kurang maju (underdeveloped). Negara-negara maju
memang telah melepaskan tanah jajahan mereka, namun sebenarnya mereka tetap
mengontrol (mengendalikan) Negara miskin secara ekonomi. Pembangunan yang
dilakukan oleh Negara-negara kurang maju, atau negara dunia ketiga, hampir
selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak barat. Pertama, Negara bekas jajahan
dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Investasi Negara-negara
maju diuntungkan karena Negara kurang maju dapat memberlakukan gaji atau upah
yang kecil bagi tenaga kerjanya, sewa tanah yang rendah dan bahan baku yang
murah. Kedua, Negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi Negara-negara
maju, sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh Negara maju. Eksploitasi
ini menyebabkan Negara kurang maju terus-menerus mengalami kemiskinan akibat
pengaruh strategi ekonomi dan politik Negara maju, dan kemiskinan mencerminkan
ketergantungan itu (Budiardjo. 2008 : 90-91)
Hal ini sesuai dengan kondisi Negara Perancis, di mana
Negara tersebut memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas, sehingga
menuntut Perancis untuk melakukan impor dari Negara-negara lain yang memiliki
kekayaaan alam melimpah. Namun di sisi lain, Perancis mengunggulkan dirinya
dalam hal pemberdayaan sumber daya manusia dengan memajukan tingkat pendidikan
warga negaranya, baik dalam penyediaan fasilitas pendidikan (sekolah,
laboratorium, perpustakaan, dll) maupun dalam ketersediaan literature bacaan.
Dampaknya, Perancis memiliki tenaga kerja terdidik juga terampil yang sangat
berperan penting dalam proses kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Negara tersebut.
Instansi pelayanan kesehatan pun dapat diakses dengan mudah oleh penduduk, di
mana hal ini mempengaruhi angka harapan hidup di Perancis. Dalam bidang
ekonomi, Perancis merupakan negara penanam modal
terbesar ke-empat di dunia sekaligus salah satu negara penerima investasi yang
terbesar di dunia. Investasi Perancis di luar negeri pada umumnya berada di
negara-negara UE, Amerika Serikat, dan negara industri maju lainnya. Investasi
di wilayah tersebut sudah berlangsung cukup lama dan bertahan hingga saat ini
karena faktor-faktor ekonominya yang menunjang. Wilayah Eropa Timur menjadi
salah satu pilihan investasi karena adanya
persamaan
budaya, upah kerja yang relatif rendah dan pertumbuhan ekonomi di Eropa Timur.
Selain negara-negara UE, AS dan Eropa Timur, akhir-akhir ini China juga
merupakan negara tujuan yang sangat menarik bagi investasi dan ekspor Perancis (KBRI, 2009).
Setelah membaca beberapa sumber artikel yang memuat
sejarah Perancis berkaitan dengan Negara lain, saya berasumsi bahwa
ketermasukan Perancis dalam core countries tidak semata-mata karena adanya
klasifikasi dari tokoh politik yang menggolongkan kelas-kelas dalam Negara.
Menurut saya, ada sebab terselubung lain yang mendasari hal ini. Berikut saya
akan memaparkan maksud dari kalimat tersebut di atas.
Pada hakikatnya, world system theory berakar pada
permasalahan white anglo-saxon protestant (persekutuan etnis kulit putih
protestant). Apa yang sebenarnya dianggap sebagai ‘kulit putih’? Julie Polovina
pernah menuliskan hal berkaitan tentang ini :
In America, Anglo-Saxon
Protestants (WASPs) created the white identity… white was used to include the
growing number of European immigrants coming to the country (Wynter 16). Yet,
the Founding Fathers, including Thomas Jefferson and Benjamin Franklin, wanted
to exclude ‘tawny’?
People
such as the Spaniards, Italians, French and Russians from their white culture
initially (Wynter 17). A struggle to include all people of European descent or
who have fair skin as white has taken place up to the present time. European
Jews, as well as Eastern and Southern Europeans, were not integrated into
whiteness in America until post-World War II. (2008)
Mengapa teori system dunia ini berkaitan dengan white
anglo-saxon protestant? Karena sejak era Napoleon, perseteruan Inggris versus
Perancis sangat tajam (di luar masalah perbedaan warna kulit). Praktisnya saat
Perancis menyerah pada perang Waterloo di mana Napoleon kalah terhadap
Laksamana Nelson. Sejak abad 19, terutama pasca-perang Waterloo, Perancis kalah
oleh persekutuan internasional yang dimotori Inggris. Dan Inggris pun mengalami
kejayaan. Maka, sampai sekarang pun, walaupun Inggris dan Perancis sama-sama
terikat dalam NATO, sejatinya tetap ada persaingan di bawah alam sadar
keduanya. Bahkan, setelah keduanya sama-sama memenangkan Perang Dunia II,
Winston Churchill dan De Gulle tetap memendam persaingan terselubung. Fakta ini
terus terjadi walaupun kedua Negara sama-sama menganut anti-komunis.
Perancis yang mayoritas warga negaranya beragama
katolik berlawanan dengan Inggris yang mayoritas warga negaranya beragama
protestant. Seperti sudah diketahui, bahwa pada masa lalu, katolik dan
protestant pernah mengalami lembar hitam peperangan yang cukup panjang pada
Perang Salib. Oleh karena itu, Amerika Serikat dan Inggris tetap dianggap
persekutuan tradisional “white aglo-saxon protestant”, sedangkan Perancis tidak
termasuk di dalamnya.
Pada serbuan AS ke Iraq, Perancis dan Jerman menolak
untuk ikut campur di dalamnya, selain karena perbedaan pertaruhan kepentingan juga
karena factor historis AS-Inggris yang menjelaskan ketidakikut sertaan Perancis
dalam serbuan ini.
World system theory ini ada sejak perang dingin, atau
di era pasca-perang Westphalia yang melanda Eropa. Dilihat dari konteks “one
world government”, dinyatakan bahwa terdapat konspirasi kekuatan-kekuatan
korporasi di Eropa seperti Rotschild yang kemudian menggerakkan para perancang
politik luar negeri untuk membangun persekutuan strategis antarnegara Eropa
seperti yang akhirnya terbentuk hingga meletuslah Perang Dunia I.
Jadi, pada intinya keseimbangan keuatan dunia
internasional ditentukan oleh pembagian kekuasaan dan wilayah antarnegara di
Eropa, yang kita kenal dengan imperialisme. Contohnya, San Remo agreement yang
sepakat membagi kawasan-kawasan di Timur Tengah antara Inggris dan Perancis,
atau kawasan-kawasan di Asia Tenggara antara Inggris dan Belanda, Amerika dan
Spanyol.
Pada perkembangannya di Timur Tengah, Inggris
menguasai Negara-negara yang termasuk dalam Dewan Kerjasama Teluk, seperti Arab
Saudi, Qatar, Kuwait, Bahrain, dan sebagainya. Sementara Perancis menguasai
Tunisia, Mesir, Aljazair, Libya, dan lain-lain.
Maka kemudian tidak heran ketika Mesir dapat
digoyangkan sementara Bahrain mati-matian dipertahankan agar tidak seperti
Mesir pasca-Mubarak lengser. AS-Inggris seolah tidak mau mengambil resiko atas
bekas Negara jajahannya. Di lain pihak, Tunisia yang saat itu dipimpin oleh Ben
Ali dibiarkan lengser dengan fakta bahwa Tunisia merupakan bekas jajahan
Perancis.
Dari kasus di atas, kemudian dapat dilihat bahwa “white
anglo-saxon protestant” AS dan Inggris tetap memiliki kepentingan strategis yang
lebih eksklusif di luar Perancis, Italia, dan Jerman. Hanya saja, kemudian
Perancis tetap dimasukkan dalam
golongan core countries karena AS-Inggris merasa harus tetap mempertimbangkan
kekuatan Perancis yang sebisa mungkin tetap diikut sertakan dalam aliansi ini,
namun lebih kepada level taktis, bukan pada level strategis seperti AS dan
Inggris yang bertumpu pada white anglo-saxon protestant.
Kemudian pada kawasan Asia Tenggara, dibagi-bagi juga
wilayah kawasan tersebut menjadi beberapa wilayah jajahan antara Belanda,
Inggris dan juga Perancis. Perancis memperoleh ‘jatah’ Vietnam, Laos, dan
Kamboja, sedangkan Inggris mendapat Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan
Birma (Myanmar), dan Belanda mendapat ‘jatah’ Indonesia.
Signifikasi
lalu dengan sekarang
Pada perang dingin antara liberalism kapitalis versus
komunisme, AS-Inggris maupun Eropa Barat yang dimotori oleh Jerman dan Perancis
mau tidak mau secara taktis bersekutu menghadapi Uni Soviet dan China. Meski sejak
tahun 1972 melalui kesepakatan Shanghai antara Nixon dan Mao Zedong, AS-China
kemudian bersekutu untuk menghadapi Uni Soviet.
Ketika Soviet runtuh dan tembok Berlin runtuh tahun
1989, maka tampak di permukaan seakan-akan AS-Inggris dan Eropa Barat keluar
sebagai pemenang, padahal dari situlah awal komplikasi baru dari persekutuan
semasa perang dingin. Maka, perselisihan terselubung AS-Inggris versus Perancis
mulai muncul lagi pada berbagai bentuk yang tersamar. Contoh kasus adalah saat
Inggris menolak menggunakan mata uang Euro, ini merupakan gambaran sederhana
namun sangat substansial dan kultural.
Dan dalam kaitannya dengan Irak, jelas Perancis dan
Jerman berbeda kepentingan dalam menyikapi Saddam Hussein. Perancis dan Jerman
memiliki bisnis yang cukup banyak di Irak, mengalahkan kepopuleran AS dan
Inggris. Oleh karena itu, serangan militer yang dilancarkan oleh AS membuat
Perancis-Jerman terdorong ke pinggir, karena terjadi pemutihan semua hutang
Irak sehingga sangat merugikan Perancis-Jerman. Sementara itu, AS-Inggris
mendapatkan momentum bagus untuk memulai menyusun kekuatan di Irak dari awal
lagi.
Di sisi lain, Rusia dan China juga mempunyai investasi
besar di Irak dalam bidang migas dan industry berat, sehingga dalam kasus ini
sebenarnya Perancis-Jerman-Rusia berada dalam satu haluan, maka dari itu Bush
menolak untuk mendapat persetujuan PBB ketika ingin melakukan serangan terhadap
Irak. Bush takut, apabila melalui persetujuan PBB maka Jerman dan Perancis yang
sama-sama mempunyai hak veto akan meminta bargaining win win kepada AS-Inggris.
Atau bahkan ada kemungkinan kedua Negara tersebut plus Rusia akan memveto AS.
Oleh karenanya, Bush lebih memilih untuk mengambil aksi sepihak secara
unilateral dengan memakai opsi serangan militer ke Irak.
Kesimpulan
akhir
Negara Perancis termasuk ke dalam core countries
menurut world system theory yang dikemukakan oleh Imanuel Wallerstein berdasarkan
indicator-indikator tertentu. Selain karena adanya indicator tersebut,
keberadaan Perancis dalam core countries juga merupakan hasil dari perjalanan
sejarah yang berakar pada adanya aliansi ‘white anglo-saxon protestant’.
Konflik internal Eropa pada masa lampau tidak dapat dilepaskan dari setiap
fenomena yang terjadi di Negara-negara Eropa dan dunia sekitarnya saat ini,
termasuk Perancis.
Referensi
UNIVERSAL JOURNAL (2008) Does Whiteness Exist? [WWW] The Association of Young Journalist and
Writers. Available from : http://www.ayjw.org/articles.php?id=407925
[Accessed 10/2/11].
KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA (2009) Profil Negara dan Kerjasama [WWW]
Kementrian Luar Negeri. Diakses dari : http://www.kemlu.go.id/paris/Pages/CountryProfile.aspx?IDP=2&l=id
[Diakses 02/10/2011].
PROF. MIRIAM BUDIARDJO (2008) Dasar-dasar Ilmu Politik. Edisi revisi cetakan keempat. Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.
BOB SUGENG HADIWINATA (2002) Politik Bisnis Internasional [WWW] Google books. Available from ; http://books.google.co.id/books?id=2P7NoA2mFxEC&pg=PA50&lpg=PA50&dq=teori+sistem+dunia+menurut+immanuel+wallerstein&source=bl&ots=OzoG4-8wYJ&sig=qIqz5uid8xuVwbwy3U_LszltFqg&hl=id&ei=cxqITuvfD8LorQehs83mDA&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CEAQ6AEwBg#v=onepage&q=teori%20sistem%20dunia%20menurut%20immanuel%20wallerstein&f=false
[Accessed 10/2/11].