Minggu, 02 Oktober 2011

Perancis dalam Core Countries


ESSAY QUESTION
International Relation Europe
Lecturer : Hikmawan Saefullah

1)      Essay question

Dalam kategori teori system dunia (world-system theory), apakah Perancis merupakan bagian dari core country ?

2)      Argument / thesis statement

Jawabannya adalah ya. Perancis merupakan bagian dari core-countries bersama Inggris, Jerman, Italia, dan Belgia. Dikatakan demikian karena berdasarkan analisis saya, Perancis memenuhi apa yang menjadi karakteristik dari pada core-countries itu sendiri. Sebuah Negara termasuk ke dalam core countries atau tidak dilihat dari beberapa indicator, yaitu terdapat nilai-nilai positif globalisasi seperti tingkat pertumbuhan industri yang tinggi, pembangunan modern (upah kerja yang lebih besar, tersedianya akses ke pelayanan-pelayanan kesehatan, tersedianya bahan makanan yang cukup dan air bersih), inovasi-inovasi di bidang teknologi, dan kemajuan ekonomi yang pesat.
Pembagian Negara core countries dan tidak, termuat dalam teori ketergantungan yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, di antaranya Andre Gunder Frank dan Imanuel Wallerstein. Andre Gunder Frank membagi Negara menjadi dua kelas, yaitu core countries (pusat atau inti) dan periphery countries (pinggiran). Sedangkan Imanuel Wallerstein membagi Negara menjadi tiga kelas, yaitu : core countries, semi-periphery countries, dan periphery countries. Wallerstain menjabarkan bahwa Negara-negara di dunia pada dasarnya terbagi pada tiga kelompok besar yang posisinya ditentukan secara hierarkis. Pertama, kelompok Negara industry kaya yang secara militer dan ekonomis lebih kuat dari Negara lain sehingga menempatkannya dalam posisi core (pusat). Kedua, kelompok Negara pinggiran (periphery) yang biasanya mengandalkan sector pertanian yang tidak padat modal dan teknologi. Ketiga, kelompok Negara semi-periphery (setengah pinggiran) yang merupakan peralihan dari antara sector pertanian dan industry yang posisinya sangat tergantung pada negara-negara core dan periphery. Ketiga kelompok ini kemudian membentuk system kapitalisme dunia. (Hadiwinata. 2002 : 50).
Pada decade sebelumnya, teori ketergantungan dikembangkan akhir tahun 1950-an di bawah bimbingan Raul Prebisch yang merasa terganggu oleh fakta bahwa pertumbuhan ekonomi di Negara-negara industry maju tidak selalu mengakibatkan pertumbuhan di Negara miskin. Negara-negara core countries memiliki ciri yang sama yaitu kemiskinan dalam sumber daya alam, hal ini berkebalikan Negara periphery yang memiliki kekayaan alam melimpah namun tidak didukung oleh tenaga ahli yang memadai. Atas factor ini, Negara miskin mengekspor bahan-bahan mentah ke Negara maju, kemudian Negara maju mengolah bahan mentah tersebut menjadi barang produksi siap pakai yang akan dijual kembali kepada Negara miskin. Nilai tambah yang diperoleh dari penggunaan pembuatan produk akan selalu menghabiskan biaya yang lebih mahal daripada biaya bahan mentah yang digunakan untuk membuat produk tersebut.
Untuk selanjutnya teori ketergantungan ini juga dikembangkan oleh Andre Gunder Frank. Bertolak dari konsep Lenin mengenai imperialism, kelompok ini berpendapat bahwa imperialism masih hidup namun dalam bentuk lain yaitu dominasi Negara-negara kaya terhadap Negara-negara yang kurang maju (underdeveloped). Negara-negara maju memang telah melepaskan tanah jajahan mereka, namun sebenarnya mereka tetap mengontrol (mengendalikan) Negara miskin secara ekonomi. Pembangunan yang dilakukan oleh Negara-negara kurang maju, atau negara dunia ketiga, hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak barat. Pertama, Negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Investasi Negara-negara maju diuntungkan karena Negara kurang maju dapat memberlakukan gaji atau upah yang kecil bagi tenaga kerjanya, sewa tanah yang rendah dan bahan baku yang murah. Kedua, Negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi Negara-negara maju, sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh Negara maju. Eksploitasi ini menyebabkan Negara kurang maju terus-menerus mengalami kemiskinan akibat pengaruh strategi ekonomi dan politik Negara maju, dan kemiskinan mencerminkan ketergantungan itu (Budiardjo. 2008 : 90-91)
Hal ini sesuai dengan kondisi Negara Perancis, di mana Negara tersebut memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas, sehingga menuntut Perancis untuk melakukan impor dari Negara-negara lain yang memiliki kekayaaan alam melimpah. Namun di sisi lain, Perancis mengunggulkan dirinya dalam hal pemberdayaan sumber daya manusia dengan memajukan tingkat pendidikan warga negaranya, baik dalam penyediaan fasilitas pendidikan (sekolah, laboratorium, perpustakaan, dll) maupun dalam ketersediaan literature bacaan. Dampaknya, Perancis memiliki tenaga kerja terdidik juga terampil yang sangat berperan penting dalam proses kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Negara tersebut. Instansi pelayanan kesehatan pun dapat diakses dengan mudah oleh penduduk, di mana hal ini mempengaruhi angka harapan hidup di Perancis. Dalam bidang ekonomi, Perancis merupakan negara penanam modal terbesar ke-empat di dunia sekaligus salah satu negara penerima investasi yang terbesar di dunia. Investasi Perancis di luar negeri pada umumnya berada di negara-negara UE, Amerika Serikat, dan negara industri maju lainnya. Investasi di wilayah tersebut sudah berlangsung cukup lama dan bertahan hingga saat ini karena faktor-faktor ekonominya yang menunjang. Wilayah Eropa Timur menjadi salah satu pilihan investasi karena adanya persamaan budaya, upah kerja yang relatif rendah dan pertumbuhan ekonomi di Eropa Timur. Selain negara-negara UE, AS dan Eropa Timur, akhir-akhir ini China juga merupakan negara tujuan yang sangat menarik bagi investasi dan ekspor Perancis (KBRI, 2009).
Setelah membaca beberapa sumber artikel yang memuat sejarah Perancis berkaitan dengan Negara lain, saya berasumsi bahwa ketermasukan Perancis dalam core countries tidak semata-mata karena adanya klasifikasi dari tokoh politik yang menggolongkan kelas-kelas dalam Negara. Menurut saya, ada sebab terselubung lain yang mendasari hal ini. Berikut saya akan memaparkan maksud dari kalimat tersebut di atas.

Pada hakikatnya, world system theory berakar pada permasalahan white anglo-saxon protestant (persekutuan etnis kulit putih protestant). Apa yang sebenarnya dianggap sebagai ‘kulit putih’? Julie Polovina pernah menuliskan hal berkaitan tentang ini :
In America, Anglo-Saxon Protestants (WASPs) created the white identity… white was used to include the growing number of European immigrants coming to the country (Wynter 16). Yet, the Founding Fathers, including Thomas Jefferson and Benjamin Franklin, wanted to exclude tawny?  People such as the Spaniards, Italians, French and Russians from their white culture initially (Wynter 17). A struggle to include all people of European descent or who have fair skin as white has taken place up to the present time. European Jews, as well as Eastern and Southern Europeans, were not integrated into whiteness in America until post-World War II. (2008)
Mengapa teori system dunia ini berkaitan dengan white anglo-saxon protestant? Karena sejak era Napoleon, perseteruan Inggris versus Perancis sangat tajam (di luar masalah perbedaan warna kulit). Praktisnya saat Perancis menyerah pada perang Waterloo di mana Napoleon kalah terhadap Laksamana Nelson. Sejak abad 19, terutama pasca-perang Waterloo, Perancis kalah oleh persekutuan internasional yang dimotori Inggris. Dan Inggris pun mengalami kejayaan. Maka, sampai sekarang pun, walaupun Inggris dan Perancis sama-sama terikat dalam NATO, sejatinya tetap ada persaingan di bawah alam sadar keduanya. Bahkan, setelah keduanya sama-sama memenangkan Perang Dunia II, Winston Churchill dan De Gulle tetap memendam persaingan terselubung. Fakta ini terus terjadi walaupun kedua Negara sama-sama menganut anti-komunis.
Perancis yang mayoritas warga negaranya beragama katolik berlawanan dengan Inggris yang mayoritas warga negaranya beragama protestant. Seperti sudah diketahui, bahwa pada masa lalu, katolik dan protestant pernah mengalami lembar hitam peperangan yang cukup panjang pada Perang Salib. Oleh karena itu, Amerika Serikat dan Inggris tetap dianggap persekutuan tradisional “white aglo-saxon protestant”, sedangkan Perancis tidak termasuk di dalamnya.
Pada serbuan AS ke Iraq, Perancis dan Jerman menolak untuk ikut campur di dalamnya, selain karena perbedaan pertaruhan kepentingan juga karena factor historis AS-Inggris yang menjelaskan ketidakikut sertaan Perancis dalam serbuan ini.
World system theory ini ada sejak perang dingin, atau di era pasca-perang Westphalia yang melanda Eropa. Dilihat dari konteks “one world government”, dinyatakan bahwa terdapat konspirasi kekuatan-kekuatan korporasi di Eropa seperti Rotschild yang kemudian menggerakkan para perancang politik luar negeri untuk membangun persekutuan strategis antarnegara Eropa seperti yang akhirnya terbentuk hingga meletuslah Perang Dunia I.
Jadi, pada intinya keseimbangan keuatan dunia internasional ditentukan oleh pembagian kekuasaan dan wilayah antarnegara di Eropa, yang kita kenal dengan imperialisme. Contohnya, San Remo agreement yang sepakat membagi kawasan-kawasan di Timur Tengah antara Inggris dan Perancis, atau kawasan-kawasan di Asia Tenggara antara Inggris dan Belanda, Amerika dan Spanyol.
Pada perkembangannya di Timur Tengah, Inggris menguasai Negara-negara yang termasuk dalam Dewan Kerjasama Teluk, seperti Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Bahrain, dan sebagainya. Sementara Perancis menguasai Tunisia, Mesir, Aljazair, Libya, dan lain-lain.
Maka kemudian tidak heran ketika Mesir dapat digoyangkan sementara Bahrain mati-matian dipertahankan agar tidak seperti Mesir pasca-Mubarak lengser. AS-Inggris seolah tidak mau mengambil resiko atas bekas Negara jajahannya. Di lain pihak, Tunisia yang saat itu dipimpin oleh Ben Ali dibiarkan lengser dengan fakta bahwa Tunisia merupakan bekas jajahan Perancis.
Dari kasus di atas, kemudian dapat dilihat bahwa “white anglo-saxon protestant” AS dan Inggris tetap memiliki kepentingan strategis yang lebih eksklusif di luar Perancis, Italia, dan Jerman. Hanya saja, kemudian Perancis tetap dimasukkan dalam golongan core countries karena AS-Inggris merasa harus tetap mempertimbangkan kekuatan Perancis yang sebisa mungkin tetap diikut sertakan dalam aliansi ini, namun lebih kepada level taktis, bukan pada level strategis seperti AS dan Inggris yang bertumpu pada white anglo-saxon protestant.
Kemudian pada kawasan Asia Tenggara, dibagi-bagi juga wilayah kawasan tersebut menjadi beberapa wilayah jajahan antara Belanda, Inggris dan juga Perancis. Perancis memperoleh ‘jatah’ Vietnam, Laos, dan Kamboja, sedangkan Inggris mendapat Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Birma (Myanmar), dan Belanda mendapat ‘jatah’ Indonesia.

Signifikasi lalu dengan sekarang

Pada perang dingin antara liberalism kapitalis versus komunisme, AS-Inggris maupun Eropa Barat yang dimotori oleh Jerman dan Perancis mau tidak mau secara taktis bersekutu menghadapi Uni Soviet dan China. Meski sejak tahun 1972 melalui kesepakatan Shanghai antara Nixon dan Mao Zedong, AS-China kemudian bersekutu untuk menghadapi Uni Soviet.
Ketika Soviet runtuh dan tembok Berlin runtuh tahun 1989, maka tampak di permukaan seakan-akan AS-Inggris dan Eropa Barat keluar sebagai pemenang, padahal dari situlah awal komplikasi baru dari persekutuan semasa perang dingin. Maka, perselisihan terselubung AS-Inggris versus Perancis mulai muncul lagi pada berbagai bentuk yang tersamar. Contoh kasus adalah saat Inggris menolak menggunakan mata uang Euro, ini merupakan gambaran sederhana namun sangat substansial dan kultural.
Dan dalam kaitannya dengan Irak, jelas Perancis dan Jerman berbeda kepentingan dalam menyikapi Saddam Hussein. Perancis dan Jerman memiliki bisnis yang cukup banyak di Irak, mengalahkan kepopuleran AS dan Inggris. Oleh karena itu, serangan militer yang dilancarkan oleh AS membuat Perancis-Jerman terdorong ke pinggir, karena terjadi pemutihan semua hutang Irak sehingga sangat merugikan Perancis-Jerman. Sementara itu, AS-Inggris mendapatkan momentum bagus untuk memulai menyusun kekuatan di Irak dari awal lagi.
Di sisi lain, Rusia dan China juga mempunyai investasi besar di Irak dalam bidang migas dan industry berat, sehingga dalam kasus ini sebenarnya Perancis-Jerman-Rusia berada dalam satu haluan, maka dari itu Bush menolak untuk mendapat persetujuan PBB ketika ingin melakukan serangan terhadap Irak. Bush takut, apabila melalui persetujuan PBB maka Jerman dan Perancis yang sama-sama mempunyai hak veto akan meminta bargaining win win kepada AS-Inggris. Atau bahkan ada kemungkinan kedua Negara tersebut plus Rusia akan memveto AS. Oleh karenanya, Bush lebih memilih untuk mengambil aksi sepihak secara unilateral dengan memakai opsi serangan militer ke Irak.

Kesimpulan akhir

Negara Perancis termasuk ke dalam core countries menurut world system theory yang dikemukakan oleh Imanuel Wallerstein berdasarkan indicator-indikator tertentu. Selain karena adanya indicator tersebut, keberadaan Perancis dalam core countries juga merupakan hasil dari perjalanan sejarah yang berakar pada adanya aliansi ‘white anglo-saxon protestant’. Konflik internal Eropa pada masa lampau tidak dapat dilepaskan dari setiap fenomena yang terjadi di Negara-negara Eropa dan dunia sekitarnya saat ini, termasuk Perancis.


Referensi

UNIVERSAL JOURNAL (2008) Does Whiteness Exist? [WWW] The Association of Young Journalist and Writers. Available from : http://www.ayjw.org/articles.php?id=407925 [Accessed 10/2/11].
KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA (2009) Profil Negara dan Kerjasama [WWW] Kementrian Luar Negeri. Diakses dari : http://www.kemlu.go.id/paris/Pages/CountryProfile.aspx?IDP=2&l=id [Diakses 02/10/2011].
PROF. MIRIAM BUDIARDJO (2008) Dasar-dasar Ilmu Politik. Edisi revisi cetakan keempat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.